Belum lama ini perusahaan konsultan global McKinsey&Company mengeluarkan laporannya tentang potensi Indonesia hingga 2030. Laporan ini nampaknya dibuat dengan sangat serius karena merupakan hasil interview dengn sejumlah menteri, akademisi dan pelaku usaha. Meskipun banyak manfaatnya karena dari laporan ini kita ‘bisa melihat’ kedepan, namun tetap saja kita harus sikapi dengan kritis karena laporan-laporan semacam ini tentu dibuat bukan tanpa kepentingan.
Hal-hal
 yang positif tentang laporan ini misalnya mengungkapkan bahwa Indonesia
 akan menjadi kekuatan ekonomi ke 7 terbesar di dunia tahun 2030. Bahwa 
berbeda dengan negeri tetangga, untuk tumbuh kita tidak sepenuhnya 
tergantung pada pasar ekspor karena 65% dari GDP kita berasal dari pasar
 domestik.
 
 Hal lain yang juga positif adalah potensi ekonomi Indonesia dari sektor perikanan dan pertanian yang dianggapnya akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi rata-rata di angka 7% seperti dalam ilustrasi disamping.
Selanjutnya
 yang juga saya setuju adalah untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi
 yang rata-rata tinggi tersebut, Indonesia harus secara sungguh-sungguh 
berinvestasi pada sumber daya manusia – khususnya pada peningkatan skills
 di berbagai sektor kehidupan. Pertumbuhan 7% tersebut menurut McKinsey 
hanya bisa dicapai bila ada peningkatan produktifitas rata-rata sekitar 
60% dari sekarang sampai 2030.
Selain
 memberikan kabar baik, McKinsey juga memberikan peringatan yang perlu 
kita waspadai – yaitu khususnya yang terakit dengan pemerataan 
kesejahteraan. Menurut laporannya tersebut tahun 2030 – yang hanya 17 
tahun dari sekarang, ketika anak Anda yang baru lahir menginjak usianya 
yang ke 17, 20 % dari penduduk Indonesia atau sekitar 55 juta orang saat
 itu akan tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar, dan sekitar 25 
juta diantaranya bahkan akan kesulitan memperoleh air bersih.
Masalah air inilah yang dalam tulisan saya sebelumnya “Barakah Bukan Musibah…”  mengajak
 untuk mensikapi dan menindak lanjutinya dengan benar. Bila otoritas 
negeri ini bisa mengelola air yang belum lama ini menjadi bencana, 
menjadi air baku yang tersimpan dengan baik di sejumlah waduk-waduk – 
maka peringatan McKinsey untuk problem air tersebut di atas insyaAllah 
tidak perlu terjadi.
Hal
 lain yang saya kurang sependapat dengan McKinsey adalah pertumbuhan 
ekonomi yang mengandalkan financial services. Saat ini rata-rata 
penduduk Indonesia hanya memiliki 2.3 produk yang terkait dengan jasa 
keuangan, sementara Malaysia rata-rata 5.4 dan Singapore rata-rata 7.7. 
Menurutnya Indonesia akan mendekati Malaysia atau bahkan Singapore 
ketika penghasilan kita tumbuh.
Pertumbuhan
 financial services membuat kekayaan masyarakat terpusat di 
perusahaan-perusahaan pengumpul dana masyarakat seperti bank, asuransi 
dlsb. Ketika dana itu terpusat pada segelintir institusi, maka yang bisa
 mengakses-pun hanya segelintir pihak. Masyarakat kebanyakan menabung 
dengan hasil yang pas-pasan bahkan sering kalah dengan laju inflasi, 
sementara segelintir orang yang memiliki privilege  akses terhadap capital yang terkonsentrasi akan menjadi semakin besar.
Kapitalisme
 ribawi tumbuh semakin besar peranannya dalam ekonomi masyarakat, 
manakala ditopang oleh industry jasa keuangan yang semakin besar. 
Mengapa 9 dari 10 pensiunan tidak siap secara finansiil ?, karena 
kekayaan mereka selama bekerja puluhan tahun tersimpan di berbagi produk
 jasa keuangan seperti dana pensiun, asuransi, deposito, tabungan dlsb.
Dari
 realita bahwa produk-produk jasa keuangan tersebut yang tidak mampu 
memakmurkan pemiliknya, mengapa harus diandalkan menjadi area 
pertumbuhan ?. Adakah orang bisa makmur dengan menabung ? Apakah para 
pensiunan - yang terbukti telah menabung selama puluhan tahun - bisa 
menjaga kwalitas kehidupannya dengan mengandalkan dana pensiun dan hasil
 deposito-nya ?.
Jadi
 darimana pertumbuhan itu terjadi mestinya ?, dari uang yang beredar dan
 berputar dengan cepat di masyarakat yang luas untuk menggerakkan sektor
 produksi dan sektor perdagangan. Inilah sektor-sektor yang secara riil 
memakmurkan masyarakat luas itu.
Jadi
 dalam 17 tahun dari sekarang, fokus tenaga terampil yang kita perlu 
bangun mestinya adalah untuk menguasai sektor-sektor produksi dari 
berbagai bidang dan juga sektor-sektor perdagangannya yang terkait. Agar
 kemakmuran merata, agar tidak terjadi 55 juta orang miskin tidak bisa 
mengakses sanitasi dengan baik sebagaimana skenario-nya McKinsey 
tersebut di atas.
Hal
 lain adalah daya beli atau ukuran kemakmuran yang sesungguhnya. Dengan 
skenario pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 % dan pertumbuhan jumlah 
penduduk rata-rata 1.15% , maka GDP per capita Indonesia akan berada di 
kisaran US$ 9,000 s/d US$ 10,000,- makmurkah kita saat itu ?. Standar 
US$-nya yang jadi masalah !.
Dengan
 pendapatan per capita rata-rata saat ini sebesar US$ 3,500,- ; 
rata-rata penghasilan orang Indonesia cukup untuk membeli sekitar 15 
ekor kambing setahun. Bila tingkat penurunan daya beli Dollar 17 tahun 
mendatang sama dengan tingkat penurunannya selama 17 tahun yang lewat, 
maka penghasilan rata-rata sebesar US$ 10,000 tersebut akan setara 
kurang dari 10 ekor kambing. Artinya mengukur kemakmuran dengan 
timbangan US$ akan bias dan tidak bisa menggambarkan kemakmuran yang 
sesungguhnya.
Hal
 yang sama terjadi bila kita lakukan dengan Rupiah sekarang, penghasilan
 rat-rata per kapita kita saat ini yang berada di kisaran Rp 30.8 juta, 
akan menjadi sekitar Rp 100 juta pada tahun 2030 – bila otoritas moneter
 mampu menjaga nilai tukar Rupiah tidak lebih dari Rp 10,000/US$ sampai 
tahun tersebut.
Pertanyaannya
 adalah dengan pendapatan per capita kita di angka Rp 100 juta per tahun
 untuk tahun 2030, makmur kah kita ?. Lagi-lagi timbangan kambing (Dinar
 !) yang bisa mengukurnya dengan akurat. Pendapatan sekarang yang di 
angka Rp 30.8 juta kurang lebih cukup untuk membeli sekitar 15 ekor 
kambing untuk qurban yang baik.
Pendapatn
 Rp 100 juta tahun 2030 hanya cukup untuk membeli sekitar 2.5 ekor 
kambing ukuran qurban yang baik. Dengan Rupiah sekarang, harga kambing 
qurban saat itu akan mencapai Rp 40,000,000 ! tidak masuk akalkah ?.
Ketika
 tahun 1970, harga seekor kambing qurban yang baik masih di kisaran 
angka Rp 2,100,- tentu tidak terbayang oleh bapak-bapak kita saat itu 
bahwa suatu saat nanti ketika anaknya dewasa (yaitu jaman kita) harga 
kambing qurban menjadi Rp 2,100,000 per ekor. Harga kambing menjadi 
1,000 kali lebih mahal dari harga kambing saat itu !.
Sesuatu
 yang tidak masuk di akal itu terjadi melalui apa yang disebut inflasi –
 yang terjadi secara gradual terus menerus tahun demi tahun !. Jadi 
dengan tingkat inflasi yang ada sekarang, tidak sulit bagi kita untuk 
membayangkan harga kambing akan naik hampir 20 kalinya dalam 17 tahun 
mendatang menjadi di kisaran Rp 40,000,000 per ekor.
Akan
 terlalu banyak angka nol untuk harga seekor kambing, maka sebelum itu 
terjadi – angka nol ini harus dibuang dahulu. Itulah relevansinya 
kebijakan redenominasi yang digagas pemerintah dan BI itu. Pada tahun 
2030, harga kambing hanya akan menjadi Rp 40,000,- tetapi bukan Rupiah 
yang kita kenal sekarang – Rupiah kita yang telah dibuang tiga angka 
nolnya !
Jadi
 saya setuju dengan pemerintah dan BI untuk redenominasi, tetapi dengan 
alasan yang sedikit berbeda. Nggak tega saja membeli seekor kambing 
dengan harga Rp 40,000,000 ! Wa Allahu A’lam.
 
  
Tidak ada komentar:
Posting Komentar