
Barangkali
mayoritas ekonomi akan sepakat dengan pendapat bahwa koin emas (dinar)
dan koin perak (dirham) merupakan alternatif mata uang yang lebih baik
dibandingkan dengan mata uang kertas yang sehari-hari kita pakai
sekarang. Ada juga yang mempromosikan dua jenis mata uang tersebut
dengan landasan nostalgia masa kejayaan kekhalifahan Islam.
Tapi
kerinduan historis itu tidak semestinya membuat kita lupa bahwa
sebetulnya tugas kita adalah menyusun dan menapaki masa depan yang lebih
baik. Masa lalu memang bisa menjadi guru, namun kalau terlalu lama
menengok ke belakang maka rintangan di depan terkadang tak pernah kita
lihat dengan begitu jelas. Akibatnya, kita
bisa hanyut dalam suramnya masa depan karena terlalu terlena dengan
kejayaan masa lalu yang sebenarnya bukanlah milik siapapun yang hidup
sekarang.
Mungkin saking semangatnya mempromosikan dinar – dirham,
ada yang menyebutnya sebagai mata uang yang Islami, atau
setidak-tidaknya merupakan warisan Islam. Itu sah saja, karena memang
mata uang tersebut digunakan dalam berbagai masa kekhalifahan. Tapi,
dinar merupakan terjemahan langsung dari denarius yang merupakan jenis
koin emas di masa Romawi. Artinya, bangsa Arab mewarisinya dari
kekaisaran Romawi.
Karena itu, pertanyaan mendasarnya adalah
apakah koin emas dan perak bisa mengatasi berbagai kelemahan mata uang
kertas di masa sekarang dan akan datang. Ada beberapa isu yang membuat
dinar – dirham lebih unggul.
Pertama, mata uang kertas yang
diterbitkan oleh masing-masing negara telah berkembang menjadi sistem
keuangan yang sangat kompleks. Akibatnya, transaksi mata uang menjadi
sebuah rangkaian yang panjang dan tidak efisien. Untuk bisa membeli
barang buatan Korea, rangkaian transaksi uang jauh lebih panjang
dibanding transaksi barang. Arus barang hanya meliputi tiga tahap saja
yaitu importer membeli dari produsen di Korea dan kemudian menyalurkan
ke pengecer yang selanjutnya dijual kepada konsumen. Transaksi uang yang
menyertainya setidaknya meliputi lima tahap: (1) produsen dan importir
bertransaksi dalam bentuk dolar Amerika, (2) produsen di Korea menukar
dolar menjadi won Korea, (3) importir menukar rupiah menjadi dolar, (4)
pengecer menyetor rupiah kepada importir, dan (5) pengecer mendapatkan
rupiah dari konsumen akhir. Padahal ide dasar penggunaan uang adalah
untuk menyederhanakan transaksi di sektor riil. Kalau seluruh dunia
menggunakan dinar atau denarius maka rantai transaksi uang akan sama
dengan rantai perdagangan.
Kedua, dalam sistem kurs yang mengam
bang, pelaku perdagangan antar negara menghadapi ketidakpastian kurs.
Untuk mendapatkan kepastian, mereka harus melakukan hedge atau swap.
Keduanya tentu menimbulkan biaya. Kalau seluruh dunia mengadopsi dinar
maka otomatis biaya ini akan hilang karena ketidakpastian kurs menjadi
tidak relevan.
Ketiga, inflasi di masing-masing negara cenderung
sangat dipengaruhi oleh kebijakan moneter. Negara yang mengadopsi
kebijakan moneter yang lebih longgar cenderung mengalami inflasi yang
lebih tinggi. Karena itu, tingkat inflasi di berbagai negara cenderung
berbeda. Kalau denarius menjadi mata uang tunggal dunia, hampir bisa
dipastikan bahwa inflasi di semua negara akan kurang lebih sama. Yang
menjadi pembeda adalah perkembang an harga di kelompok barang yang
non-tradable seperti sewa rumah, ongkos angkutan umum dan tukang cukur.
Keempat,
penggunaan mata uang yang berbeda antar negara dapat menimbulkan bahaya
yang ditimbulkan oleh perang mata uang. Negara-negara yang menginginkan
keunggulan daya saing di pasar internasional dapat merancang strategi
supaya mata uangnya tetap under-value. Akibatnya, negara lain akan kalah
dagang dan mengalami masalah pengangguran yang akut. Hal itu kemudian
dapat memicu perang mata uang yang akan berujung pada instabilitas
keuangan dunia.
Kalau saja dunia menganut satu mata uang, maka
bahaya itu akan dapat dihindarkan. Kelima, negara-negara yang mata
uangnya dijadikan denominasi dalam perdagangan internasional dapat
dengan mudah “mengekspor” inflasi ke seluruh belahan dunia. Kebijakan
moneter yang longgar di Amerika Serikat dapat memicu harga-harga di
pasar dunia melonjak yang pada gilirannya memicu inflasi global.
Pemerintah Amerika mendapatkan pendapatan seniorage dari pencetakan
uang, dan ongkosnya harus ditanggung oleh penduduk di seluruh dunia.
Amerika tidak mungkin bangkrut walaupun utangnya menggunung karena
seluruh dunia memberikan dana talangan secara implisit. Kalau mata uang
dunia adalah denarius, semua negara memiliki derajat yang sama dalam
bidang moneter.
Disamping berbagai keunggulan dinar seperti yang
disebutkan di atas, ada beberapa klaim yang cenderung misleading.
Contohnya adalah bahwa dinar merupakan mata uang yang anti inflasi, anti
riba, anti spekulasi dan lainnya. Untuk isu-isu tersebut, mungkin kami
akan membahasnya dalam beberapa seri tulisan di bulan-bulan mendatang.
Tujuannya adalah supaya kita bisa memahami dinar-dirham secara obyektif
dan lurus. Disamping ada keunggulan, bukan berarti mata uang tersebut
tanpa cacat. Kita tunggu saja, apakah kita ditakdirkan untuk memperjelas
masalah ini.
Dr Iman Sugema, Dosen IE FEM IPB
M Iqbal Irfany, Dosen IE-FEM IPB
Sumber : Ekonomiislami.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar