Selasa, 05 Maret 2013

Redenominasi Rupiah, Apa Artinya bagi Kita?

Rencana untuk menyederhanakan nilai nominal rupiah kembali bergema. Bersama bank sentral, pemerintah telah meniup peluit tanda dimulainya kampanye program ini pada 23 Januari 2013 lalu, di Hotel Borobudur, Jakarta.

Penyederhanaan nominal alias redenominasi bukanlah isu baru. Tiga tahun lalu, pemerintah menggulirkan gagasan serupa, tapi kemudian melempem, setelah ditentang banyak kalangan, termasuk DPR. Namun, kali ini, rencana redenominasi agaknya berdering lebih nyaring. Selain meniup tanda dimulai sosialisasi, pemerintah juga akan segera mengajukan RUU Redenominasi kepada DPR. Setelah melalui masa transisi dan sosialisasi, diharapkan penyederhanaan nilai mata uang bisa dimulai tahun 2017 mendatang.

Persoalannya, apa arti redenominasi bagi ekonomi dan buat hidup kita sehari-hari?
Redenominasi adalah penyederhanaan nominal mata uang, tanpa mengubah nilai tukarnya. Demi kepraktisan, Bank Indonesia (BI) dan pemerintah akan membuang tiga nol terakhir dalam uang rupiah kita. Jadi, pecahan Rp 10.000 ungu bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II yang kini beredar, misalnya, kelak akan ditarik, dan diganti pecahan baru dengan nominal Rp 10, tapi nilainya tetap sama. Jika uang ungu bergambar Sultan Mahmud bisa dipakai untuk membeli semangkok bakso, pecahan Rp 10 penggantinya kelak, juga dapat membeli bakso yang sama.

Jadi jelas, seperti kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo, redenominasi bukanlah sanering atau pemotongan nilai uang. Nilainya tidak dipotong, yang diringkas hanya cara penulisan nominalnya saja. Singkatnya, tampilannya saja yang diubah.

Lalu kenapa tampilan itu harus diubah?  Menurut Menteri Agus Martowardojo, redenominasi perlu dilakukan karena pecahan uang rupiah kita saat ini jumlah digitnya terlalu banyak, sehingga bisa menyebabkan inefisiensi. Nominal uang rupiah kita saat ini, tidak praktis.

Dalam proses input dan pelaporan data, misalnya, jumlah digit yang terlalu banyak akan merepotkan dan mengundang kesalahan. Mengetik ”Rp 10”, misalnya, tentu lebih ringkas dan lebih cepat ketimbang mengetik ”Rp 10.000”. Jika yang diketik hanya satu atau 10 data, selisihnya mungkin tidak kentara, tapi bagaimana jika ada jutaan atau miliaran entry data yang harus di-input?

Lebih Efisien

Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution memberi gambaran kerepotan tersebut dalam angka-angka yang lebih jelas. Menurut Darmin, nilai transaksi antarbank yang direkam bank sentral, setiap  hari kini telah mencapai Rp 404 triliun. Ini melonjak hampir tiga kali lipat dari tahun 2009. ”Tiga tahun naik tiga kali lipat, bagaimana lima tahun ke depan? Itu cuma transaksi sehari, lalu berapa jumlahnya dalam setahun? Bayangkan, betapa banyak jumlah digit 0 yang ada di pencatatan di Bank Indonesia,” kata Darmin dalam acara sosialisasi redenominasi.

Itu sebabnya, Darmin menegaskan pentingnya penyederhanaan nilai nominal agar transaksi, pencatatan, dan pelaporan lebih efisien. “Dengan redenominasi, jumlah digit rupiah lebih sederhana. Penyelesaian dan pencatatan transaksi lebih singkat dan biayanya lebih murah,” katanya.

Darmin menambahkan, redenominasi penting untuk penyederhanaan pembukuan. Penulisan nilai barang dan jasa akan lebih ringkas dan sederhana, begitu juga penulisan uang. Ini akan menyederhanakan sistem akuntansi dalam sistem pembayaran.

Jumlah digit yang kebanyakan juga merumitkan penghitungan, sehingga berpotensi menimbulkan kekeliruan, juga makan waktu. Dalam sistem transaksi nontunai, misalnya, jumlah digit yang kepanjangan bisa melampaui jumlah digit yang ditoleransi oleh infrastruktur sistem pembayaran dan sistem pencatatan.

Pengamat pasar modal dan pasar uang, Budi Frensidy, punya gambaran lebih gamblang. Angka-angka agregat ekonomi kita ditulis dalam satuan angka yang begitu besar. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dana pihak ketiga di perbankan, atau kapitalisasi pasar saham, misalnya, sudah ribuan triliun. Ini angka yang besar sekali, sulit dibayangkan.

Kelak, dengan perekonomian yang terus tumbuh, angka-angka ini terus membengkak menjadi ratusan ribu triliun atau jutaan triliun, sehingga kian sulit dibayangkan betapa banyak deretan nol di belakang satuan ini. Angka-angka itu juga sering kali sulit diproses oleh kalkulator finansial yang lazimnya hanya memuat 10 digit alias hanya untuk satuan belasan miliar saja. Nah, redenominasi akan menyederhanakan atau meringkas deretan panjang ini.

Agar masyarakat tidak bingung, pemerintah berjanji untuk melakukan penyederhanaan ini secara bertahap, bukan sekaligus. Jadi, pecahan Rp 10.000 tadi, misalnya, akan beredar mendampingi pecahan Rp 10 uang baru. Secara bertahap uang ungu ditarik dan pelan-pelan, digantikan uang baru. Proses ini akan berlangsung selama empat sampai enam tahun.

Apa Manfaat Redenominasi Rupiah?
Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti mengatakan, redenominasi atau penyederhanaan nilai nominal rupiah mempunyai beberapa manfaat, di antaranya kebanggaan sebagai bangsa. Menurut dia, dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS masih besar,  terdapat penilaian bahwa perekonomian Indonesia masih terbelakang.
"Indonesia itu nilai tukarnya masih besar, jadi ada persepsi bahwa negara yang memiliki nilai tukar masih besar memiliki perekonomian terbelakang. Apalagi, nilai tukar yang masih besar-besar ini dipersepsikan sebagai negara berkembang," kata Destry kepada Kompas.com saat ditemui di Hotel Four Seasons, Jakarta, Rabu (30/1/2013).
Ia menilai kebijakan redenominasi akan memberikan manfaat ekonomis kepada masyarakat. Manfaat paling utama adalah kebanggaan (pride).
Jika dapat melakukan redenominasi, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang saat ini Rp 9.680 per dollar AS menjadi hanya Rp 9,6 per dollar AS. Kondisi ini akan sebanding dengan nilai ringgit Malaysia terhadap dollar AS sebesar 3,05 ringgit, peso Filipina yang sebesar 41,92 peso, baht Thailand sebesar 30,52 baht, dan dollar Singapura sebesar 1,23 dollar Singapura.
"Jangan sampai seperti Zimbabwe yang masih memiliki lembaran senilai 1 juta. Mereka kan inflasinya juga tinggi," tuturnya.
Dengan kondisi tersebut, bank sentral dinilai memang harus segera menerapkan wacana redenominasi ini dengan sebaik-baiknya. Untuk mempercepat informasi, bank sentral juga harus segera mengedukasi masyarakat agar mereka tahu manfaat redenomasi secara utuh.
Kekhawatiran yang muncul, menurut Destry, adalah kesiapan perbankan ataupun institusi keuangan yang harus mengeluarkan biaya investasi untuk sistem elektronik nilai tukarnya, misalnya dari Rp 10.000 menjadi Rp 10. Nantinya, pihak bank juga harus mengeluarkan investasi sistem di jaringan anjungan tunai mandiri (ATM).
"ATM nanti juga harus bisa mengambil dua-duanya, jangan sampai hilang salah satu. Nantinya ATM ini juga bisa mengambil uang dalam denominasi baru ataupun lama," katanya.

Redenominasi RUPIAH. Perlukah??




Belum lama ini perusahaan konsultan global McKinsey&Company mengeluarkan laporannya tentang potensi Indonesia hingga 2030. Laporan ini nampaknya dibuat dengan sangat serius karena merupakan hasil interview dengn sejumlah menteri, akademisi dan pelaku usaha. Meskipun banyak manfaatnya karena dari laporan ini kita ‘bisa melihat’ kedepan, namun tetap saja kita harus sikapi dengan kritis karena laporan-laporan semacam ini tentu dibuat bukan tanpa kepentingan.
Hal-hal yang positif tentang laporan ini misalnya mengungkapkan bahwa Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi ke 7 terbesar di dunia tahun 2030. Bahwa berbeda dengan negeri tetangga, untuk tumbuh kita tidak sepenuhnya tergantung pada pasar ekspor karena 65% dari GDP kita berasal dari pasar domestik.
 
















Hal lain yang juga positif adalah potensi ekonomi Indonesia dari sektor perikanan dan pertanian yang dianggapnya akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi rata-rata di angka 7% seperti dalam ilustrasi disamping.
Selanjutnya yang juga saya setuju adalah untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang rata-rata tinggi tersebut, Indonesia harus secara sungguh-sungguh berinvestasi pada sumber daya manusia – khususnya pada peningkatan skills di berbagai sektor kehidupan. Pertumbuhan 7% tersebut menurut McKinsey hanya bisa dicapai bila ada peningkatan produktifitas rata-rata sekitar 60% dari sekarang sampai 2030.
Selain memberikan kabar baik, McKinsey juga memberikan peringatan yang perlu kita waspadai – yaitu khususnya yang terakit dengan pemerataan kesejahteraan. Menurut laporannya tersebut tahun 2030 – yang hanya 17 tahun dari sekarang, ketika anak Anda yang baru lahir menginjak usianya yang ke 17, 20 % dari penduduk Indonesia atau sekitar 55 juta orang saat itu akan tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar, dan sekitar 25 juta diantaranya bahkan akan kesulitan memperoleh air bersih.
Masalah air inilah yang dalam tulisan saya sebelumnya “Barakah Bukan Musibah…”  mengajak untuk mensikapi dan menindak lanjutinya dengan benar. Bila otoritas negeri ini bisa mengelola air yang belum lama ini menjadi bencana, menjadi air baku yang tersimpan dengan baik di sejumlah waduk-waduk – maka peringatan McKinsey untuk problem air tersebut di atas insyaAllah tidak perlu terjadi.
Hal lain yang saya kurang sependapat dengan McKinsey adalah pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan financial services. Saat ini rata-rata penduduk Indonesia hanya memiliki 2.3 produk yang terkait dengan jasa keuangan, sementara Malaysia rata-rata 5.4 dan Singapore rata-rata 7.7. Menurutnya Indonesia akan mendekati Malaysia atau bahkan Singapore ketika penghasilan kita tumbuh.
Pertumbuhan financial services membuat kekayaan masyarakat terpusat di perusahaan-perusahaan pengumpul dana masyarakat seperti bank, asuransi dlsb. Ketika dana itu terpusat pada segelintir institusi, maka yang bisa mengakses-pun hanya segelintir pihak. Masyarakat kebanyakan menabung dengan hasil yang pas-pasan bahkan sering kalah dengan laju inflasi, sementara segelintir orang yang memiliki privilege  akses terhadap capital yang terkonsentrasi akan menjadi semakin besar.
Kapitalisme ribawi tumbuh semakin besar peranannya dalam ekonomi masyarakat, manakala ditopang oleh industry jasa keuangan yang semakin besar. Mengapa 9 dari 10 pensiunan tidak siap secara finansiil ?, karena kekayaan mereka selama bekerja puluhan tahun tersimpan di berbagi produk jasa keuangan seperti dana pensiun, asuransi, deposito, tabungan dlsb.
Dari realita bahwa produk-produk jasa keuangan tersebut yang tidak mampu memakmurkan pemiliknya, mengapa harus diandalkan menjadi area pertumbuhan ?. Adakah orang bisa makmur dengan menabung ? Apakah para pensiunan - yang terbukti telah menabung selama puluhan tahun - bisa menjaga kwalitas kehidupannya dengan mengandalkan dana pensiun dan hasil deposito-nya ?.
Jadi darimana pertumbuhan itu terjadi mestinya ?, dari uang yang beredar dan berputar dengan cepat di masyarakat yang luas untuk menggerakkan sektor produksi dan sektor perdagangan. Inilah sektor-sektor yang secara riil memakmurkan masyarakat luas itu.
Jadi dalam 17 tahun dari sekarang, fokus tenaga terampil yang kita perlu bangun mestinya adalah untuk menguasai sektor-sektor produksi dari berbagai bidang dan juga sektor-sektor perdagangannya yang terkait. Agar kemakmuran merata, agar tidak terjadi 55 juta orang miskin tidak bisa mengakses sanitasi dengan baik sebagaimana skenario-nya McKinsey tersebut di atas.
Hal lain adalah daya beli atau ukuran kemakmuran yang sesungguhnya. Dengan skenario pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 % dan pertumbuhan jumlah penduduk rata-rata 1.15% , maka GDP per capita Indonesia akan berada di kisaran US$ 9,000 s/d US$ 10,000,- makmurkah kita saat itu ?. Standar US$-nya yang jadi masalah !.
Dengan pendapatan per capita rata-rata saat ini sebesar US$ 3,500,- ; rata-rata penghasilan orang Indonesia cukup untuk membeli sekitar 15 ekor kambing setahun. Bila tingkat penurunan daya beli Dollar 17 tahun mendatang sama dengan tingkat penurunannya selama 17 tahun yang lewat, maka penghasilan rata-rata sebesar US$ 10,000 tersebut akan setara kurang dari 10 ekor kambing. Artinya mengukur kemakmuran dengan timbangan US$ akan bias dan tidak bisa menggambarkan kemakmuran yang sesungguhnya.
Hal yang sama terjadi bila kita lakukan dengan Rupiah sekarang, penghasilan rat-rata per kapita kita saat ini yang berada di kisaran Rp 30.8 juta, akan menjadi sekitar Rp 100 juta pada tahun 2030 – bila otoritas moneter mampu menjaga nilai tukar Rupiah tidak lebih dari Rp 10,000/US$ sampai tahun tersebut.
Pertanyaannya adalah dengan pendapatan per capita kita di angka Rp 100 juta per tahun untuk tahun 2030, makmur kah kita ?. Lagi-lagi timbangan kambing (Dinar !) yang bisa mengukurnya dengan akurat. Pendapatan sekarang yang di angka Rp 30.8 juta kurang lebih cukup untuk membeli sekitar 15 ekor kambing untuk qurban yang baik.
 
Pendapatn Rp 100 juta tahun 2030 hanya cukup untuk membeli sekitar 2.5 ekor kambing ukuran qurban yang baik. Dengan Rupiah sekarang, harga kambing qurban saat itu akan mencapai Rp 40,000,000 ! tidak masuk akalkah ?.
Ketika tahun 1970, harga seekor kambing qurban yang baik masih di kisaran angka Rp 2,100,- tentu tidak terbayang oleh bapak-bapak kita saat itu bahwa suatu saat nanti ketika anaknya dewasa (yaitu jaman kita) harga kambing qurban menjadi Rp 2,100,000 per ekor. Harga kambing menjadi 1,000 kali lebih mahal dari harga kambing saat itu !.
Sesuatu yang tidak masuk di akal itu terjadi melalui apa yang disebut inflasi – yang terjadi secara gradual terus menerus tahun demi tahun !. Jadi dengan tingkat inflasi yang ada sekarang, tidak sulit bagi kita untuk membayangkan harga kambing akan naik hampir 20 kalinya dalam 17 tahun mendatang menjadi di kisaran Rp 40,000,000 per ekor.
Akan terlalu banyak angka nol untuk harga seekor kambing, maka sebelum itu terjadi – angka nol ini harus dibuang dahulu. Itulah relevansinya kebijakan redenominasi yang digagas pemerintah dan BI itu. Pada tahun 2030, harga kambing hanya akan menjadi Rp 40,000,- tetapi bukan Rupiah yang kita kenal sekarang – Rupiah kita yang telah dibuang tiga angka nolnya !
Jadi saya setuju dengan pemerintah dan BI untuk redenominasi, tetapi dengan alasan yang sedikit berbeda. Nggak tega saja membeli seekor kambing dengan harga Rp 40,000,000 ! Wa Allahu A’lam.

Senin, 04 Maret 2013

Mengapa Allah menggunakan Emas dan Perak sebagai Nisab zakat?

Inilah mengapa Allah memakai Emas dan Perak sebagai patokan Nishab Zakat. Bukan uang kertas.
Uang Kertas 100 trilyun dolar Zimbabwe nilainya cuma US$ 5 (Rp 45.000)! Orang harus bawa setumpuk uang untuk belanja sehari2.  Ini pemiskinan massal. Kezaliman thd rakyat!
“…Allah Tahu, sedang kamu tidak tahu!” [Al Baqarah 216]
Tahun 90-an ongkos naik bis cuma Rp 100. Tahun 2000-an jadi Rp 2000. 10 tahun saja naik 20x lipat. Padahal gaji pada kurun itu belum tentu naiknya segitu. Jadi uang kertas itu pemiskinan massal. Padahal kalau digaji misalnya dgn 10 gram emas, niscaya dari 1400 tahun lalu hingga sekarang, meski jumlahnya tak berubah, nilainya juga tidak turun.
Allah dan RasulNya sudah memberi contoh pemakaian emas dan perak sebagai uang. Bukan uang kertas yang tiap tahun nilainya selalu turun dan sering terkena Krisis Keuangan.
Emas dan Perak karena punya nilai riel dibanding kertas, lebih stabil dan lebih tahan terhadap inflasi. Contohnya, 1 dinar (4,25 gram emas 22 karat) pada zaman Nabi bisa dipakai untuk membeli 1-2 ekor kambing. Ada satu hadits yang merupakan bukti sejarah stabilitas uang dinar di Hadits Riwayat Bukhari sebagai berikut:
”Ali bin Abdullah menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, Syahib bin Gharqadah menceritakan kepada kami, ia berkata, “Saya mendengar penduduk bercerita tentang ’Urwah, bahwa Nabi saw. memberikan uang satu Dinar kepadanya agar dibelikan seekor kambing untuk beliau, lalu dengan uang tersebut ia membeli dua ekor kambing, kemudian ia jual satu ekor dengan harga satu Dinar. Ia pulang membawa satu Dinar dan satu ekor kambing. Nabi saw. mendoakannya dengan keberkatan dalam jual belinya. Seandainya ‘Urwah membeli tanahpun, ia pasti beruntung.” (H.R.Bukhari)
Saat ini pun dengan kurs 1 dinar=Rp 2,2 juta, kita bisa mendapat 1 kambing besar atau 2 ekor kambing kecil. Stabil bukan?
Hiperinflasi adalah penyakit umum dari Uang Kertas Fiat (uang yang tidak dijamin emas, perak, dan barang2 berharga lainnya). Banyak krisis keuangan terjadi di dunia termasuk di AS, Yunani, Turki, Indonesia, Zimbabwe, dsb karena uang kertas yang mereka pakai sebetulnya tidak berharga.

Sejarah DINAR dan DIRHAM

 
Pada masa awalnya Muslimin menggunakan emas dan perak berdasarkan beratnya dan Dinar Dirham yang digunakan merupakan cetakan dari bangsa Persia.
Koin awal yang digunakan oleh Muslimin merupakan duplikat dari Dirham perak Yezdigird III dari Sassania, yang dicetak dibawah otoritas Khalifah Uthman, radiy’allahu anhu. Yang membedakan dengan koin aslinya adalah adanya tulisan Arab yang berlafazkan “Bismillah”. Sejak saat itu tulisan “Bismillah” dan bagian dari Al Qur’an menjadi suatu hal yang lazim ditemukan pada koin yang dicetak oleh Muslimin.

Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa standar dari koin yang ditentukan oleh Khalif Umar ibn ak-Khattab, berat dari 10 Dirham adalah sama dengan 7 Dinar (1 mithqal). Pada tahun 75 Hijriah (695 Masehi) Khalifah Abdalmalik memerintahkan Al-Hajjaj untuk mencetak Dirham untuk pertama kalinya, dan secara resmi beliau menggunakan standar yang ditentukan oleh Khalifah Umar ibn Khattab. Khalif Abdalmalik memerintahkan bahwa pada tiap koin yang dicetak terdapat tulisan: “Allahu ahad, Allahu samad”. Beliau juga memerintahkan penghentian cetakan dengan gambar wujud manusia dan binatang dari koin dan menggantinya dengan huruf-huruf.

Perintah ini diteruskan sepanjang sejarah Islam. Dinar dan Dirham biasanya berbentuk bundar, dan tulisan yang dicetak diatasnya memiliki tata letak yang melingkar. Lazimnya di satu sisi terdapat kalimat “tahlil” dan “tahmid”, yaitu, “La ilaha ill’Allah” dan “Alhamdulillah” sedangkan pada sisi lainnya terdapat nama Amir dan tanggal pencetakkan; dan pada masa masa selanjutnya menjadi suatu kelaziman juga untuk menuliskan shalawat kepada Rasulullah, salallahu alayhi wa salam, dan terkadang, ayat-ayat Qur’an.

Koin emas dan perak menjadi mata uang resmi hingga jatuhnya kekhalifahan. Sejak saat itu, lusinan mata uang dari beberapa negara dicetak di setiap negara era paska kolonialisme dimana negara negara tersebut merupakan pecahan dari Dar al Islam.

Sejarah telah membuktikan berulang kali bahwa uang kertas telah menjadi alat penghancur dan menjadi alat untuk melenyapkan kekayaan uamt Muslim. Perlu diingat bahwa Hukum Syariah Islam tidak pernah mengizinkan penggunaan surat janji pembayaran menjadi alat tukar yang sah

Investasi yang sesuai sunah? Yaa Dinar laah.

 
Anda harus mengetahui dulu kenapa harus menyimpan dinar.

Alasan :

1. Sejarah membuktikan bahwa uang kertas selalu mengalami penurunan nilai sehingga uang 10 jt dulu bisa buat beli tanah 1/2 hektar sekarang hanya dapat beberapa ubin saja.
2. Uang kertas yang dahulu untuk pembuatanya harus ada emas sebagai jaminan sekarang bisa di cetak dengan sesuka hati oleh orang-orang tertentu sehingga emas dan uang kertas tidak seimbang nilainya, terlalu banyak uang kertas yang berserakan dan timbulah inflasi, bahkan hiperinflasi  dan krisis ekonomi. Mau lihat bukti lebih klik disini
3. Dinar dan Dirham adalah mata uang yang disarankan oleh Alqur'an Dan Hadits


Daripada Urwah bin Abi Al-Ja’d Al-Bariqi, beliau berkata:
“Sesungguhnya Nabi saw memberinya satu dinar untuk membeli seekor kambing, lalu ia membeli untuk Nabi saw dua kambing dengan wang tersebut. Maka ia jual seekor dengan harga satu dinar dan membawa satu ekor kambing dan satu dinar kepada Nabi saw. Lalu Nabi saw mendoakannya: “Dia (Urwah), seandainya membeli debu tentu akan untung juga”(HR. Abu Dawud (2810) dan At-Tirmidzi (1/287))

1. Menetapkan emas dan perak sebagai medium of exchange (alat tukar)
قال رسول الله : الذهب بالذهب , والفضة بالفضة , ….مثلا بمثل , يدا بيد , و الفضل ربا , فاذا اختلفـت هذه الأصنا ف فبيعوا كيف شئتم , اذا كان يدا بيد ( رواه مسلم )“ Rasul bersabda : Emas dengan emas, perak dengan perak, ….harus sama takarannya, dan tunai. Jika ada kelebihan berarti riba. Adapun jika berbeda sifatnya maka juallah sesuai kehendakmu asal dilaksanakan tunai”[6]

4. Kenaikan Dinar dalam 10 tahun terakhir mencapai 30%  anda bisa cek history disini Dengan berlakunya dinar dan dirham maka perekonomian sehat akan berkembang.

Mengapa Harus Dinar Dirham ??

Dinar Dirham Mengapa Harus Dinar Dirham? 
Barangkali mayoritas ekonomi akan sepakat dengan pendapat bahwa koin emas (dinar) dan koin perak (dirham) merupakan alternatif mata uang yang lebih baik dibandingkan dengan mata uang kertas yang sehari-hari kita pakai sekarang. Ada juga yang mempromosikan dua jenis mata uang tersebut dengan landasan nostalgia masa kejayaan kekhalifahan Islam.
Tapi kerinduan historis itu tidak semestinya membuat kita lupa bahwa sebetulnya tugas kita adalah menyusun dan menapaki masa depan yang lebih baik. Masa lalu memang bisa menjadi guru, namun kalau terlalu lama menengok ke belakang maka rintangan di depan terkadang tak pernah kita lihat dengan begitu jelas. Akibatnya, kita bisa hanyut dalam suramnya masa depan karena terlalu terlena dengan kejayaan masa lalu yang sebenarnya bukanlah milik siapapun yang hidup sekarang.
Mungkin saking semangatnya mempromosikan dinar – dirham, ada yang menyebutnya sebagai mata uang yang Islami, atau setidak-tidaknya merupakan warisan Islam. Itu sah saja, karena memang mata uang tersebut digunakan dalam berbagai masa kekhalifahan. Tapi, dinar merupakan terjemahan langsung dari denarius yang merupakan jenis koin emas di masa Romawi. Artinya, bangsa Arab mewarisinya dari kekaisaran Romawi.
Karena itu, pertanyaan mendasarnya adalah apakah koin emas dan perak bisa mengatasi berbagai kelemahan mata uang kertas di masa sekarang dan akan datang. Ada beberapa isu yang membuat dinar – dirham lebih unggul.
Pertama, mata uang kertas yang diterbitkan oleh masing-masing negara telah berkembang menjadi sistem keuangan yang sangat kompleks. Akibatnya, transaksi mata uang menjadi sebuah rangkaian yang panjang dan tidak efisien. Untuk bisa membeli barang buatan Korea, rangkaian transaksi uang jauh lebih panjang dibanding transaksi barang. Arus barang hanya meliputi tiga tahap saja yaitu importer membeli dari produsen di Korea dan kemudian menyalurkan ke pengecer yang selanjutnya dijual kepada konsumen. Transaksi uang yang menyertainya setidaknya meliputi lima tahap: (1) produsen dan importir bertransaksi dalam bentuk dolar Amerika, (2) produsen di Korea menukar dolar menjadi won Korea, (3) importir menukar rupiah menjadi dolar, (4) pengecer menyetor rupiah kepada importir, dan (5) pengecer mendapatkan rupiah dari konsumen akhir. Padahal ide dasar penggunaan uang adalah untuk menyederhanakan transaksi di sektor riil. Kalau seluruh dunia menggunakan dinar atau denarius maka rantai transaksi uang akan sama dengan rantai perdagangan.
Kedua, dalam sistem kurs yang mengam bang, pelaku perdagangan antar negara menghadapi ketidakpastian kurs. Untuk mendapatkan kepastian, mereka harus melakukan hedge atau swap. Keduanya tentu menimbulkan biaya. Kalau seluruh dunia mengadopsi dinar maka otomatis biaya ini akan hilang karena ketidakpastian kurs menjadi tidak relevan.
Ketiga, inflasi di masing-masing negara cenderung sangat dipengaruhi oleh kebijakan moneter. Negara yang mengadopsi kebijakan moneter yang lebih longgar cenderung mengalami inflasi yang lebih tinggi. Karena itu, tingkat inflasi di berbagai negara cenderung berbeda. Kalau denarius menjadi mata uang tunggal dunia, hampir bisa dipastikan bahwa inflasi di semua negara akan kurang lebih sama. Yang menjadi pembeda adalah perkembang an harga di kelompok barang yang non-tradable seperti sewa rumah, ongkos angkutan umum dan tukang cukur.
Keempat, penggunaan mata uang yang berbeda antar negara dapat menimbulkan bahaya yang ditimbulkan oleh perang mata uang. Negara-negara yang menginginkan keunggulan daya saing di pasar internasional dapat merancang strategi supaya mata uangnya tetap under-value. Akibatnya, negara lain akan kalah dagang dan mengalami masalah pengangguran yang akut. Hal itu kemudian dapat memicu perang mata uang yang akan berujung pada instabilitas keuangan dunia.
Kalau saja dunia menganut satu mata uang, maka bahaya itu akan dapat dihindarkan. Kelima, negara-negara yang mata uangnya dijadikan denominasi dalam perdagangan internasional dapat dengan mudah “mengekspor” inflasi ke seluruh belahan dunia. Kebijakan moneter yang longgar di Amerika Serikat dapat memicu harga-harga di pasar dunia melonjak yang pada gilirannya memicu inflasi global. Pemerintah Amerika mendapatkan pendapatan seniorage dari pencetakan uang, dan ongkosnya harus ditanggung oleh penduduk di seluruh dunia. Amerika tidak mungkin bangkrut walaupun utangnya menggunung karena seluruh dunia memberikan dana talangan secara implisit. Kalau mata uang dunia adalah denarius, semua negara memiliki derajat yang sama dalam bidang moneter.
Disamping berbagai keunggulan dinar seperti yang disebutkan di atas, ada beberapa klaim yang cenderung misleading. Contohnya adalah bahwa dinar merupakan mata uang yang anti inflasi, anti riba, anti spekulasi dan lainnya. Untuk isu-isu tersebut, mungkin kami akan membahasnya dalam beberapa seri tulisan di bulan-bulan mendatang. Tujuannya adalah supaya kita bisa memahami dinar-dirham secara obyektif dan lurus. Disamping ada keunggulan, bukan berarti mata uang tersebut tanpa cacat. Kita tunggu saja, apakah kita ditakdirkan untuk memperjelas masalah ini.

Dr Iman Sugema, Dosen IE FEM IPB
M Iqbal Irfany, Dosen IE-FEM IPB
Sumber : Ekonomiislami.wordpress.com

Harga Emas 2013

 
Emas digerakkan global needs vs supplies, termasuk di dalamnya belanja perorangan, industri dan juga bank sentral. Bank sentral ini ‘jarang-jarang’ bertransaksi tapi volume dalam satu kali transaksi bisa ratusan ton! Mulai tahun 1990 bank sentral sibuk melakukan penjualan cadangan emasnya lalu berbalik arah mulai tahun 2008 ketika krisis pertama melanda Amerika, mereka mulai mengoleksi kembali cadangan emas, padahal saat itu harga emas sangat tinggi. Analis memperkirakan bahwa di tahun-tahun mendatang bank sentral akan terus mengkonsumsi emas untuk cadangan devisanya, sebagai bentuk kekhawatiran atas kondisi Amerika yang bisa jadi terjebak di resesi ekonomi ke-2 dan Eropa yang belum terlihat akan pulih. Di situasi ini, kita ingat bahwa “Gold is the anti-currency” – dimana ekonomi melemah dan ditandai mata uang yang makin tak terpercaya, emas makin jadi tempat pelarian.
Fiscal Cliff
Sebetulnya, apa yang terjadi adalah analis emas saat ini tak terlalu memberi perhatian atas apa yang terjadi di Amerika sana. Termasuk di dalamnya Fiscal Cliff. Bahkan jika seandainya deal untuk mengatasi jurang fiskal ini terjadi, maka driver harga emas makin ‘ke timur’ yaitu Cina dan India, dan (hopefully) Indonesia. Pada tahun 2002, Cina dan India mengkonsumsi emas dunia total 25%, akan tetapi pada 2012 naik menjadi 47% dan mereka menjadi dual-majority saat ini. Di waktu yang sama, Amerika menurun dari 25% share konsumsi emas dunia menjadi hanya 12% saat sekarang.
Emas ke depan “Would be not so US-centric” (Bloomberg) kendati dataran harga emas baru akan juga menunggu inisiatif ekonomi di Eropa dan AS. Maknanya juga bahwa kita harus lebih melihat apa yang terjadi di Mesir, Cina, India dan Turki yang makin menguat sebagai pengendali ekonomi kawasan. Semua negara ini ‘sehat’ secara ekonomi, dan negara sehat mengkonsumsi emas lebih banyak untuk keseimbangan cadangan devisanya.
 
Saya pernah menyebut pada bulan November 2012 ketika diwawancari oleh Bisnis Indonesia bahwa jika pada akhir 2012 emas menyentuh US$1750/toz maka ia bisa melesat lebih cepat tak terkendali di awal 2013. Tapi itu tak terjadi kemarin. Sehingga sampai dengan kuartal 1 2013 masih sangat rawan volatilitas. Dan ini benar-benar terjadi 3 pekan pertama 2013 dimana gerakan harga naik dan turun dalam mencapai 0,2% dalam satu hari.
Lalu kemana harga emas di 2013? Bloomberg menyebut USD1900 dan Reuters menyebut USD2200. Dengan kondisi Rupiah maksimal Rp10.000 per US$ ini akan mendorong harga emas menjadi 650.000 – 800.000 per gram. Pierre Lasonde (seorang analis emas) menyebut angka dalam jangka panjang, 10 tahun, akan menjadi USD13.000/toz. Angka paling moderat adalah kenaikan 8-12% selama 2013.